Komersialisasi
Pendidikan
Memang tidak dapat dimungkiri
bahwa dari awal Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP)
dibuat sampai disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, banyak mengundang kritikan dan
demo. Betapa tidak, kekh
jadi jatah untuk orang-orang kaya
saja, sedangkan orang yang tidak mampu tidak akan sanggup mengenyam dunia
pendidikan tinggi. Bahkan, orang dengan kepandaian kurang pun jika memiliki
uang dapat masuk ke perguruan tinggi negeri. Fakta itu terjadi ketika beberapa
perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara atau disingkat BHMN
seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut
Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Sumatera
Utara (USU) serta Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebagian besar
menaikkan SPP bagi mahasiswa, yang dilanjutkan dengan pembukaan beberapa jalur
khusus masuk dengan sumbangan yang besar.
Timbul pertanyaan, apakah benar, pemberlakuan UU BHP
dimaksudkan untuk komersialisasi pendidikan seperti yang dikhawatirkan
masyarakat dan mahasiswa selama ini. Barangkali tidak semuanya benar dan untuk
menyakinkan maka perlu ditelaah latar belakang UU BHP kemudian dikaji
pasal-pasal krusial yang dikhawatirkan menjadi celah untuk melakukan
komersialisasi pendidikan.
Namun, sebelum menganalisis secara substantif, perlu
diketengahkan dulu bahwa UU yang baik dan mampu mencapai tujuannya (efektif)
maka harus memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat tersebut, yaitu pertama, UU BHP
harus memenuhi syarat filosofis. Artinya mampu menciptakan rasa keadilan bagi
semua pihak. Keadilan di sini adalah keadilan yang sama (equality before the
law). Kedua, UU BHP harus memenuhi syarat yuridis, artinya dibuat oleh pejabat
yang berwenang membuatnya, yaitu pemerintah bersama dengan DPR. Ketiga, UU BHP
harus memenuhi syarat sosiologis, artinya UU BHP betul-betul sangat dibutuhkan
masyarakat. Namun, melihat fenomena banyak kritik, demo, serta banyak pihak
yang mengajukan judisial review menunjukkan bahwa UU BHP tidak memenuhi syarat
sosiologis. Oleh karena itu, UU BHP secara prinsip tidak akan efektif berlaku.
UU BHP lebih bersifat top down daripada bottom up.
Tindak lanjut dari tidak dipenuhinya syarat sosiologis
UU BHP, seperti kita ketahui bersama bahwa saat ini UU BHP mengalami uji
materiil di Mahkamah Konstitusi. Sebetulnya, banyak pihak yang tidak setuju UU
BHP hanya diuji materiil, mereka lebih meminta agar UU BHP dibatalkan saja
karena hasil dari judisial review atau uji materiil suatu UU biasanya adalah
ada review atau perubahan terhadap beberapa pasal saja yang dianggap krusial,
selebihnya tidak diubah.
Sebenarnya, misi utama dari UU BHP sendiri cukup baik
yaitu ingin menempatkan satuan pendidikan bukan sebagai unit pelaksana teknis
(UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, namun sebagai suatu unit yang otonom
(mandiri). Rantai birokrasi yang selama ini terjadi diputus habis diserahkan ke
dalam organ badan hukum pendidikan yang menjalankan fungsi badan hukum:
penentuan kebijakan umum dan pengelolaan pendidikan. Misalnya, di dalam satuan
pendidikan perguruan tinggi, praktik selama ini untuk memilih seorang rektor
harus melewati tujuh lapis birokrasi (tingkat senat, Dirjen Dikti, Inspektorat
Jenderal, Sekjen Depdiknas, Menteri Pendidikan Nasional, tim penilai akhir
Sekretariat Negara, dan akhirnya presiden). Saat ini, dengan BHP, hal itu tidak
lagi terjadi, rektor dipilih dan ditetapkan oleh organ representasi pemangku
kepentingan.
Dua masalah utama yang krusial dan menjadi objek uji
materiil yaitu masalah pendanaan pemerintah ke BHP dan pemerintah daerah ke
BHPPD (Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah) untuk biaya operasional (Pasal
41 UU BHP) yang dibatasi hanya beberapa komponen anggaran seperti biaya
operasional pendidikan dan kewenangan BHP melakukan investasi dalam bentuk
portofolio (Pasal 42 UU BHP). Dari dua pasal itu saja dikhawatirkan celah untuk
komersialisasi akan digunakan. Sebab, BHP diperkenankan mencari sumber dana
dari masyarakat.
Sebenarnya, di negara-negara maju sekalipun,
pemerintah tetap mendanai operasional perguruan tinggi sehingga wajarlah
apabila perguruan tinggi negeri mampu memberikan kontribusi yang positif pada
negara. Pengurangan anggaran pemerintah terhadap perguruan tinggi negeri yang
akan dilakukan pemerintah kurang tepat karena dapat memicu kemungkinan
perguruan tinggi negeri tersebut mencari cara untuk mendapatkan dana
operasional. Hal itu di UU BHP diperkenankan. Ini juga menekan posisi perguruan
tinggi swasta, yang akan kembali bersaing dengan perguruan tinggi negeri untuk
mendapatkan mahasiswa. Meski kekhawatiran ini tidak semua beralasan karena
kualitaslah yang akan menjadi penentu ke mana masyarakat akan memilih perguruan
tinggi. Sebut saja beberapa perguruan tinggi swasta yang berkualitas maka
sampai saat ini pun tidak terbebani dengan masalah jumlah mahasiswa karena
untuk masuk ke perguruan tinggi swasta favorit cukup sulit dan alumninya mampu
bersaing di dunia kerja.
Perguruan tinggi yang sudah BHP dapat melakukan
investasi dalam bentuk portofolio. Jika para pengelola perguruan tinggi
tersebut lebih menekankan pada faktor investasi dan menganaktirikan masalah
kualitas pendidikan tinggi maka komersialisasi akan terjadi. Namun, jika yang
diinvestasikan dalam bentuk portofolio itu adalah dana BHP yang sifatnya idle
dan hasil investasinya menguntungkan dan keuntungan itu digunakan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan tinggi BHP sendiri maka komersialisasi tidak
akan terjadi.
Kekhawatiran masyarakat akan adanya komersialisasi
pendidikan akan terhapus apabila perguruan tinggi tersebut mampu membangun
komunikasi yang efektif dengan masyarakat, termasuk mahasiswa sebagai bagian
dari dirinya. Dan memang benar bahwa tidak ada upaya untuk meningkatkan SPP
setelah perguruan tinggi tersebut menjadi BHP, melainkan lebih mengedepankan
research sehingga niatan dari beberapa perguruan tinggi menjadi world class
university dan reseach university akan menjadi kenyataan dan bukan suatu
keniscayaan.
Berdasarkan UU BHP, untuk menjadi BHP, perguruan
tinggi diberikan waktu paling lama empat tahun sejak UU BHP berlaku. Semua
perguruan tinggi baik perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta
(PTS) harus berbentuk BHP. Bahkan, semua pihak yang menyelenggarakan pendidikan
harus berbentuk BHP. Beberapa perguruan tinggi negeri, sebut saja Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Padjadjaran memilih menjadi Badan Layanan
Umum (BLU) dahulu sebelum menjadi BHP. Batas waktu empat tahun betul-betul
dimanfaatkan beberapa perguruan tinggi satuan pendidikan bukan sebagai unit
pelaksana teknis (UPT) dari Departemen Pendidikan Nasional, tetapi sebagai
suatu unit yang otonom. ***
Penulis, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
dan pemerhati dunia pendidikan.
Oleh SUDARYAT
Sumber : http://smipekalongan.blogspot.com/